BALAI BESAR PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN SURABAYA
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

MENGENAL KEMUNDURAN BENIH DAN PENYEBABNYA

Diposting     Jumat, 30 September 2022 07:09 am    Oleh    Admin Balai Surabaya



Oleh :

Dwithree Desfajerin D., SP., MP.

PBT BBPPTP Surabaya

Benih merupakan sarana produksi utama dalam budidaya tanaman karena dalam benih terdapat kandungan materi genetik dan kandungan kiwiawi yang merupakan komponen kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kandungan materi genetik ini akan mewarisi sifat-sifat genetik yang dimiliki tetuanya baik itu sifat unggul maupun sifat negatifnya. Sedangkan kandungan kimiawi benih akan berpengaruh pada proses awal pertumbuhan tanaman.  Apabila kandungan kimiawi benih tidak maksimal dikarenakan faktor-faktor yang ada pada proses pembentukan benih tidak mendukung, niscaya benih tersebut akan mengalami kesulitan dalam awal pertumbuhannya.

Kemunduran benih merupakan suatu proses yang merugikan yang dialami oleh setiap jenis benih yang dapat terjadi segera setelah benih masak dan terus berlangsung sampai penyimpanan. Copeland dan McDonald (2001) mengemukakan bahwa kemunduran benih adalah proses mundurnya mutu fisiologis benih secara berangsur-angsur dan kumulatif serta tidak dapat balik (irreversible) akibat perubahan fisiologis dan biokimia. Perubahan yang menurun sehingga meningkatkan paparan benih terhadap tantangan eksternal dan menurunkan kemampuan benih untuk bertahan hidup juga merupakan kemunduran benih, dimana hal tersebut akan mengurangi kelangsungan hidup dan akhirnya menyebabkan kematian benih (Jyoti dan Malik, 2013).

Proses alami dalam kemunduran benih melibatkan sitologi, perubahan fisiologis, biokimia dan fisik dalam benih. Urutan kemunduran benih dimulai dengan rantai peristiwa biokimia terutama kerusakan membran dan penurunan reaksi biosintetik yang menghasilkan kehilangan beberapa tanda kinerja benih, dimulai dengan penurunan daya berkecambah, penurunan perkecambahan di lapang, peningkatan kecambah abnormal dan diakhiri dengan kematian benih (Jyoti dan Malik, 2013). Lebih lanjut Copeland dan McDonald (2001) menjelaskan gejala kemunduran pada benih dapat dicirikan dengan terjadinya perubahan morfologi (perubahan warna kulit benih menjadi lebih gelap dan terjadinya nekrosis kotiledon), perubahan ultrastruktural (penggabungan lemak dan plasmalemma), ketidakmampuan benih untuk menahan metabolit seluler yang bocor ketika terjadi imbibisi, kehilangan aktivitas enzim, dan respirasi yang menurun.

Kemunduran benih dapat terjadi selama penanaman, pemanenan dan penyimpanan. Selama penanaman, kemunduran benih akan dimulai saat benih telah masak fisiologis sampai benih tersebut dipanen. Kondisi lingkungan sebelum panen yang merugikan akan mengakibatkan benih yang telah masak fisiologis mengalami kerusakan. Saat panen sampai setelah panen, benih umumnya mengalami kerusakan fisik akibat dari cara panen, prosessing, dan transportasi yang kurang tepat (Jyoti dan Malik, 2013).

Selama penyimpanan, sejumlah perubahan fisiologis dan fisikokimia terjadi, disebut penuaan benih. Penuaan benih secara umum ditandai oleh penurunan vigor, viabilitas, laju dan kapasitas perkecambahan, peningkatan kebocoran zat terlarut dan kerentanan terhadap stress dan mengurangi toleransi untuk penyimpanan dalam kondisi sub-optimum (Nik et al., 2011). Shaban (2013) menjelaskan bahwa pada tingkat sel, penuaan benih dikaitkan dengan berbagai perubahan termasuk hilangnya integritas membran, metabolisme energi berkurang, penurunan RNA dan sintesis protein, dan degradasi DNA. Penuaan benih juga menyebabkan penyimpangan kromosom yang tergolong sebagai efek mutagenik yaitu terdiri fragmentasi, jembatan, fusi, pembentukan cincin kromosom dan variasi ukuran inti (Jyoti dan Malik, 2013).

Kehilangan integritas membran sel adalah salah satu penyebab utama hilangnya viabilitas. Gangguan permeabilitas membran mengakibatkan peningkatan pencucian konstituen benih. Perubahan sistem membran, seperti tonoplast, plasmalemma dan retikulum endoplasma mengakibatkan berkurangnya fungsi sel normal dan produksi energi. Sehingga penurunan perkecambahan dan vigor benih berhubungan dengan tingginya tingkat kebocoran elektrolit (Jyoti dan Malik, 2013). Rathinavel dan Dharmalingan (2001) menjelaskan bahwa peningkatan permeabilitas sel dari benih kapas saat kemunduran benih memungkinkan komponen sel berdifusi keluar dalam jumlah besar saat benih ditempatkan dalam air.

Enzim memiliki peran penting dalam kemunduran benih dan perubahan aktivitas enzim dapat menjadi indikasi penurunan kualitas (Copeland dan McDonald, 2001). Jyoti dan Malik (2013) menjelaskan bahwa semua aktivitas enzim berkorelasi positif dengan perkecambahan jika aktivitas enzim menurun seperti berkurangnya aktivitas lipase, ribonuklease, asam fosfatase, protease, diastase, katalase, peroksidase, α dan β amilase, DNase dan dehidrogenase maka perkecambahan juga menurun. Penurunan aktivitas enzim dalam benih akan menurunkan kapasitas pernafasan, yang selanjutnya akan menurunkan energi (ATP) dan pasokan asimilat untuk benih berkecambah. Oleh karena itu, beberapa perubahan dalam struktur makromolekul enzim dapat berkontribusi untuk menurunkan efisiensi perkecambahan (Shaban, 2013).  

Reactive oxygen spesies (ROS) dan hidrogen peroksida yang dihasilkan dari beberapa reaksi metabolisme dan bisa dihancurkan oleh aktivitas enzim pembersih seperti katalase (CAT) dan peroksida (POD). Namun aktivitas peroksida menurun dengan adanya penuaan benih akibatnya benih menjadi lebih sensitif terhadap efek oksigen dan radikal bebas dalam membran asam lemak tak jenuh dan menghasilkan produk-produk peroksidasi lipid seperti monaldehyde dan gabungan lipid (Jyoti dan Malik, 2013). Produksi radikal bebas, terutama yang diprakarsai oleh oksigen, berhubungan dengan peroksidasi lipid dan senyawa penting lain yang ditemukan dalam sel. Hal ini menyebabkan sejumlah kejadian yang tidak diinginkan termasuk penurunan kadar lipid. Peroksidasi lipid dimulai dengan munculnya radikal bebas (atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan) baik oleh autoksidasi atau enzimatis oleh enzim oksidatif seperti lipoxygenase yang terdapat dalam benih (Shaban, 2013).

Peroksidasi lipid dimediasi oleh radikal bebas, inaktivasi enzim atau penurunan protein, disintegrasi membran sel dan kerusakan genetik. Shaban (2013) menjelaskan bahwa proses biokimia peroksidasi lipid merupakan penyebab kemunduran selama penyimpanan benih. Peroksidasi lipid dan produk yang dihasilkan dari proses ini menyebabkan denaturisation DNA, menghalagi translasi dan transkripsi protein, dan menyebabkan oksidasi asam amino. Mekanisme kerusakan oksidatif sangat kompleks dan terjadi sebagai perubahan dua jenis asam lemak. Yang pertama, terkait dengan proses penuaan pada minggu pertama penyimpanan dan termasuk oksidasi asam lemak tak jenuh spontan, tanpa terjadi perubahan pada asam lemak jenuh. Kedua, hilangnya kemampuan benih untuk berkecambah menunjukkan oksidasi kedua asam lemak jenuh dan tak jenuh.

Aktifitas radikal bebas dalam benih tergantung pada kadar air, komponen benih (misalnya keutuhan benih, kotiledon, embrio), banyak benih, spesies dan varietas, serta perlakuan penuaan. Perubahan peroksidatif dalam komposisi asam lemak dari membran lipid berpengaruh pada viskositas, permeabilitas dan fungsi membran sel serta penurunan respirasi mitokondria selama penyimpanan. Produk akhir peroksidasi lipid adalah lipid hydroperoxid (ROOH) dari aldehida yang dibentuk, termasuk malonil-dialdehyde (MDA). Penentuan kadar MDA adalah metode konvensional yang digunakan untuk penentuan peroksidasi lipid (Shaban, 2013).

Kimia dan susunan minyak dalam benih juga mempengaruhi kerentanan benih terhadap kemunduran. Kimia benih berpengaruh pada jumlah air bebas yang tersedia untuk benih akan meningkatkan tingkat kemunduran. Benih yang memiliki lendir di sekitar kulit biji seperti Salvia pada lingkungan dengan kelembaban relatif tinggi akan mentransfer kelembaban ke benih sehingga mengakibatkan kemunduran benih lebih cepat. Pada benih berminyak, komposisi asam lemak merupakan faktor penting yang menentukan kerentanan minyak terhadap oksidasi (Shaban, 2013).

Benih dengan kandungan lipid yang banyak mempunyai umur simpan yang terbatas karena komposisi kimia spesifik. Selama penyimpanan, pada benih berminyak terjadi penurunan total jumlah kandungan minyak dan perkecambahan. Komposisi asam lemak adalah faktor yang paling penting yang menentukan kerentanan minyak terhadap oksidasi. Parameter kualitas benih seperti kandungan minyak, komposisi asam lemak dan kadar protein secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan dan waktu (Shaban, 2013).

Basra et al. (2000) menyatakan bahwa asam lemak bebas memiliki efek merusak pada membran. Mitokondria tanaman terisolasi menunjukkan pembengkakan dan mengeluarkan fosforilasi oksidatif dengan adanya asam lemak bebas. Penambahan asam lemak bebas meningkatkan fusi vesikula tanaman yang mengakibatkan peningkatan kebocoran membran. Asam lemak bebas yang merusak lipid bilayer khususnya mitokondria menyebabkan produksi energi berkurang dan radikal bebas. Hal tersebut memiliki potensi untuk merusak membran, DNA, enzim, protein dan mekanisme perbaikan sel (Jyoti dam Malik, 2013). Copeland dan McDonald (2001) juga menjelaskan bahwa akumulasi terus-menerus asam lemak bebas berakibat pada pengurangan pH seluler dan merugikan metabolisme sel normal.

DAFTAR PUSTAKA

Basra, S.M.A, K.U.Rehman and S. Iqbal. 2000. Cotton seed deterioration : assessment of some physiological and biochemical Aspects. Int. J. Agri. Biol. 2 (3): 195-198.

Copeland, L. O. and M. B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company. New York. 467 p.

Jyoti and C.P. Malik. 2013. Seed deterioration : a review. Int. J. LifeSc. Bt and Pharm. Res. 2 (3): 374-385.

Nik, S.M.M., H.G. Tilebeni, E. Zeinali, and A. Tavassoli. 2011. Effects of seed aging on heterotrophic seedling growth in Cotton. American-Eurasian J. Agri. And Environ. Sci. 10 (4): 653-657.

Rathinavel, K. and C. Dharmalingam. 2001. Efficacy of seed treatment on storabilly of cotton seeds and seedling vigour. Jounal of Tropical Agriculture. 39 (2001): 128-133.

Shaban, M. 2013. Review on physiological aspects of seed deterioration. Intl. J. Agri. Crop. Sci. 6 (11): 627-631.


Bagikan Artikel Ini  
[Sassy_Social_Share style="display:inline-block; margin-left:140px;"]

Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Periode Agustus 2022

Diposting     Selasa, 27 September 2022 10:09 am    Oleh    Admin Balai Surabaya



Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasaan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Pada bulan Agustus 2022, dari 80 orang jumlah responden, apresiaisi pelayanan kepada masyarakat Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya pada penilaian kinerja unit pelayanan sangat baik, mutu pelayanan A dengan nilai IKM 88.86. Terimakasih apresiasi yang diberikan, BBPPTP Surabaya akan terus meningkatkan mutu dan kinerja pelayanan.


Bagikan Artikel Ini  
[Sassy_Social_Share style="display:inline-block; margin-left:140px;"]

SERANGAN PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO Phytopthora sp DI WILAYAH KERJA BBPPTP SURABAYA OLEH: WAHYU IRIANTO

Diposting     Senin, 12 September 2022 03:09 pm    Oleh    Admin Balai Surabaya



PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO Phytopthora sp.

Phytopthora sp. merupakan jamur penyebab penyakit busuk buah kakao yang dapat menyerang pada berbagai umur buah. Warna buah berubah, umumnya mulai dari ujung buah atau dekat tangkai yang dengan cepat meluas ke seluruh buah. Buah menjadi busuk dalam waktu 14-22 hari (Semangun, 2010).

Serangan Phytopthora sp. menyebar di seluruh wilayah kerja dengan berbagai kategori tingkat serangan. Beberapa pengendalian yang telah  dilakukan adalah kultur teknis, mekanis, dan kimia. Pengendalian dapat dilakukan dengan membuang buah-buah yang terserang atau dengan mengiris (memotong) bersih kulit yang terserang sampai bagian sehat  kemudian melumasinya dengan fungisida seperti dithane M.45. Pengendalian lain dapat dilakukan dengan cara hayati dengan menggunakan agens hayati Trichoderma sp. yang diberikan disekitar tanaman (Pracaya, 2007).

Gambar I: Peta Tingkat Serangan Phytopthora sp. pada Tanaman Kakao Triwulan IV 2021  

Sumber data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Hasil pemetaan Gambar diatas  menunjukkan serangan Phytopthora sp tersebar di semua wilayah kerja BBPPTP Surabaya. Menurut hasil pemetaan tersebut menunjukkan tingkat serangan tinggi terjadi di Prop. DIY, Bali, NTB dan NTT, untuk wilayah Banten dan Jawa Tengah, mengalami tingkat serangan sedang dan tingkat serangan rendah terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Tabel I. Fluktuasi Luas Serangan Phytopthora sp Triwulan III 2021 Hingga Triwulan IV 2021

No. Provinsi Luas serangan Phytopthora sp (Ha) Peningkatan/Penurunan Peningkatan/Penurunan
T-III 2021 T-IV 2021 Luas serangan (Ha) Luas serangan (%)
1 Banten 374,00 374,00 0,00 0,00
2 Jawa Barat 97,32 51,42 -45,90 -47,16
3 Jawa Tengah 111,99 134,47 22,48 20,07
4 DIY 194,85 275,00 80,15 41,13
5 Jawa Timur 700,84 735,16 34,32 4,90
6 Bali 923,96 941,45 17,49 1,89
7 NTB 1.341,00 1.366,00 25,00 1,86
8 NTT 4.888,60 6.326,80 1.438,20 29,42
Total 8.632,56 10.204,30 1.571,74 18,21

Gambar 2: Perbandingan Luas Serangan Phytopthora pada Tanaman Kakao

                     Triwulan I 2018 danTriwulan IV 2021.

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Kondisi tersebut apabila digambarkan dengan Grafik Perbandingan Luas Serangan pada Triwulan III tahun 2021 dan Triwulan IV tahun 2021 (gambar 2) diketahui bahwa terjadi peningkatan luas serangan Phytopthora sp berdasarkan Tabel 2 sebesar 18,21 % atau 1.571,74 Ha. Terjadinya peningkatan luas serangan tersebut karena semua wilayah kerja mengalami peningkatan serangan kecuali Jawa Barat.

Tabel 2 Perbandingan Luas Serangan Phytopthora sp Triwulan IV 2020 dan Triwulan IV 2021

No. Provinsi Luas serangan Phytopthora sp (Ha) Peningkatan/Penurunan Peningkatan/Penurunan
T-IV 2020 T-IV 2021 Luas serangan (Ha) Luas serangan (%)
1 Banten 414,00 374,00 -40,00 -9,66
2 Jawa Barat 51,42 51,42 0,00 0,00
3 Jawa Tengah 120,73 134,47 13,74 11,38
4 DIY 57,35 275,00 217,65 379,51
5 Jawa Timur 608,17 735,16 126,99 20,88
6 Bali 703,38 941,45 238,07 33,85
7 NTB 81,00 1.366,00 1.285,00 1.586,42
8 NTT 4.293,30 6.326,80 2.033,50 47,36
Total 6.329,35 10.204,30 3.874,95 61,22

Gambar 3 : Perbandingan Luas Serangan Phytopthora sp pada Tanaman Kakao

                     Triwulan IV 2020 dan IV 2021.

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Gambar 3  yang menunjukkan grafik Perbandingan Luas Serangan         Phytopthora sppada Triwulan IV tahun 2020 dan Triwulan IV tahun 2021 secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan prosentase luas serangan sebesar 61,22 % atau 3.874,95 Ha. Semua  wilayah mengalami peningkatan serangan kecuali Banten. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena adanya tindakan pengendalian yang dilakukan petani secara swadaya maupun pengendalian yang dilakukan melalui program pemerintah berupa pengendalian mekanis, sanitasi serta biologis menggunakan musuh alami kurang maksimal dilaksanakan secara maksimal

Tabel 4 Perbandingan Luas serangan dan Luas pengendalian Phytopthora sp   

No. Provinsi LS (Ha) LP (Ha) Tingkat Pengendalian (%)
1 Banten 374,00 0,00 0,00
2 Jawa Barat 51,42 6,50 12,64
3 Jawa Tengah 134,47 77,32 57,50
4 DIY 275,00 101,00 36,73
5 Jawa Timur 735,16 203,36 27,66
6 Bali 941,45 941,45 100,00
7 NTB 1.366,00 0,00 0,00
8 NTT 6.326,80 985,81 15,58
Total 10.204,30 2.315,44 22,69

Gambar 4 : Perbandingan Luas Serangan dan Luas Pengendalian Phytopthora sp   pada Tanaman Kakao periode Triwulan IV 2021

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Data pada tabel 4 dan Grafik 4 menunjukkan Perbandingan Luas Serangan dan Luas Pengendalian Phytopthora sp periode Triwulan IV tahun 2021. Data pada tabel dan grafik tersebut menunjukkan bahwa secara global Luas pengendalian hama Phytopthora sp periode Triwulan IV tahun 2021 sekitar 22,69 % atau  2.315,44 Ha.

Rekomendasi Pengendalian

Penyakit Phytopthora sp.  ini dapat dikendalikan dengan memadukan berbagai teknik pengendalian seperti varietas tahan, kultur teknis, secara mekanis dan secara kimiawi

Menanam klon-klon yang relatif resisten terhadap penyakit busuk buah P. palmivora yaitu DRC 16, Sca 6, Sca 12 dan ICS 6. (Sukamto dan Mawardani, 1986 dalam Wardojo, 1992)

Kultur Teknis

– Mengatur kelembaban kebun agar tidak terlalu tinggi, dengan cara

mengatur naungan dan pemangkasan tanaman kakao.

– Drainase kebun, diperbaiki agar perkembangan penyakit terhambat.

Mekanis

Buah-buah yang busuk di pohon diambil dan dikumpulkan, kemudian dipendam sedalam kurang lebih 30 cm dari permukaan tanah. Hal ini dapat menekan sumber infeksi serendah mungkin sehingga terhambat terjadinya infeksi baru.

 Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menyemprotkan fungisida. Fungisida yang dapat digunakan adalah fugisida tembaga 0,3 %, dengan interval dua minggu, dan fungisida maneb 0,2 % dengan interval 1 – 2 minggu. Penyemprotan dengan menggunakan knapsack sprayer dengan volume semprot 500 1/hari dan dilakukan pada saat buah sebagian besar telah berumur tiga bulan atau panjang buah sekitar 12 cm.

Pengendalian Secara Biologi

Dengan menggunakan agen hayati dari kelompok jamur yang memiliki beberapa keunggulan sesuai program pengendalian yang ramah lingkungan antara lain mudah didapat karena tersedia di alam, dapat diperbannyak secara sederhana dan efekktif, jamur yang berpotensi untuk mengendalikan secara prefentif yaitu jamur Trichoderma spp.

 DAFTAR PUSTAKA

Pracaya, 2007. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Organik.  Penebar Swadaya, Depok.

Semangun, H. 2000. Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan. UGM Press. Yogyakarta


Bagikan Artikel Ini  
[Sassy_Social_Share style="display:inline-block; margin-left:140px;"]

SEBARAN SERANGAN KEPIK PENGHISAP BUAH KAKAO Helopeltis sp. DI WILAYAH KERJA BBPPTP SURABAYA

Diposting     Rabu, 07 September 2022 11:09 pm    Oleh    Admin Balai Surabaya



Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dikembangluaskan dalam rangka peningkatan sumber devisa negara dari sektor nonmigas. Kakao merupakan komoditas yang memberikan keuntungan disebabkan harga pasar yang relatif stabil dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain. Kakao diperkirakan mempunyai harapan cerah di masa depan.  Pengembangan tanaman kakao hampir disemua wilayah kerja Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya (BBPPTP) yaitu Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, NTT, DIY, Bali dan Banten.

            Peningkatan produksi perkebunan kakao rakyat, masih banyak kendala antara lain serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yaitu, Helopeltis sp. Penggerek buah kakao (PBK) (Conopomorpha cramerella) dan Penyakit busuk buah (Phytopthora sp.)  

 Luas Areal Tanaman Kakao

Areal tanaman kakao pada Triwulan IV tahun 2021 dengan propinsi terluas adalah Prop. Nusa Tenggara Timur yaitu 61.428,00 Ha, peringkat kedua adalah Jawa Timur 54.917,00 Ha, Bali  13.867,00 Ha, NTB  7.990,00 Ha, Banten 7.624,44 Ha, Jawa Barat 6.229,00 Ha, DIY  4.634,42  Ha, dan terakhir Prop. Jawa Tengah 3.390,63 Ha. Semua wilayah kerja BBPPTP terdapat areal budidaya kakao. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki daerah tempat ketinggian sehingga cocok untuk pertumbuhan tanaman kakao.

Tabel .1 . Luas Areal Kakao di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya

No. Provinsi Luas Areal  (ha)
1 Banten 7.624,44
2 Jawa Barat 6.229,00
3 Jawa Tengah 3.390,63
4 DIY 4.634,42
5 Jawa Timur 54.917,00
6 Bali 13.867,00
7 NTB 7.990,00
8 NTT 61.428,00
Total 160.080,49  

      Sumber data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Sebaran Serangan OPT Kakao

Tabel 2 . Sebaran Serangan OPT Kakao di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya

No. Provinsi Luas Serangan (ha)
    Helopeltis sp. C. cramerella Phytopthora sp. OPT Lainnya
1 Banten 314,50 119,00 374,00  0,00
2 Jawa Barat 51,58 6,90 51,42 0,00
3 Jawa Tengah 233,51 216,64 134,47 0,00
4 DIY 145,00 169,00 275,00 0,00
5 Jawa Timur 746,02 635,75 735,16 0,00
6 Bali 716,04 640,18 941,45 0,00
7 NTB 785,00 1.191,00 1.366,00 0,00
8 NTT 4.650,80 3.830,30 6.326,80 0,00
Total 7.642,45 6.808,77 10.204,30 0,00

                  Sumber data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Tabel  diatas menunjukkan ada beberapa OPT utama yang menyerang pertanaman kakao diwilayah kerja BBPPTP Surabaya. Adapun OPT itu adalah Helopeltis sp. 7.642,45 Ha, C. cramerella 6.808,77 Ha, dan Phytopthora sp. 10.204,30 Ha.

Kepik penghisap buah (Helopeltis sp.)

Hama penghisap buah Helopeltis antonii (Hemiptera; Miridae) merupakan salah satu kendala utama pada budidaya kakao di Indonesia. Hama ini menimbulkan kerusakan dengan cara menusuk dan menghisap menghisap cairan buah ataupun tunas-tunas muda. Serangan pada buah muda menyebabkan matinya buah tersebut, sedangkan serangan pada buah berumur  sedang mengakibatkan terbentuknya buah abnormal. Akibatnya, daya hasil dan mutu kakao menurun (Saputra, 2011).

Buah yang disenangi adalah yang masih muda dan yang mendekati matang. Buah yang terserang menunjukan bekas tusukan berupa bercak-bercak hitam pada permukaan buah. Pada serangan berat, seluruh permukaan buah dipenuhi oleh bekas tusukan berwarna hitam  dan kering, kulitnya mengeras serta retak-retak (Saputra, 2011).

Gambar 1  : Peta Tingkat Serangan Helopeltis sp. pada Tanaman Kakao  Triwulan IV

Sumber        : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Jika dilihat  pada gambar  diatas wilayah dengan serangan tinggi terjadi pada Prop. Jawa Tengah,  Bali, NTB dan NTT. Serangan kategori sedang terjadi di Provinsi Banten dan DIY  dan serangan rendah di provinsi  Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada tingkat serangan tinggi, pengendalian perlu dilakukan untuk untuk menekan perkembangan luas serangan OPT.

Tabel 3 Fluktuasi Luas Serangan Helopeltis sp Triwulan III 2021 Hingga Triwulan IV 2021

No. Provinsi Luas serangan Helopeltis sp (Ha) Peningkatan/Penurunan Peningkatan/Penurunan
T-III 2021 T-IV 2021 Luas serangan (Ha) Luas serangan (%)
1  Banten 314,50 314,50 0,00 0,00
2 Jawa Barat 29,46 51,58 22,12 75,08
3 Jawa Tengah 218,25 233,51 15,26 6,99
4 DIY 180,61 145,00 -35,61 -19,72
5 Jawa Timur 702,14 746,02 43,88 6,25
6 Bali 0,00 716,04 716,04 100,00
7 NTB 713,00 785,00 72,00 10,10
8 NTT 4.661,90 4.650,80 -11,10 -0,24
Total 6.819,86 7.642,45 822,59 12,06

Gambar .2 : Perbandingan Luas Serangan Helopeltis sp  pada Tanaman Kakao

                     Triwulan III  2021  danTriwulan IV 2021

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Kondisi tersebut apabila digambarkan dengan Grafik Perbandingan Luas Serangan pada Triwulan IV tahun 2021 dan Triwulan III tahun 2021 (gambar 2). Terjadi peningkatan luas serangan Helopeltis sp sebesar 12,06 %. Terjadi peningkatan luas serangan karena pada beberapa wilayah provinsi terjadi peningkatan serangan kecuali DIY dan NTT.

Tabel 4. Perbandingan Luas Serangan Helopeltis sp  Triwulan IV 2020 dan Triwulan IV 2021

No. Provinsi Luas serangan Helopeltis sp (Ha) Peningkatan/Penurunan Peningkatan/Penurunan
T-IV 2020 T-IV 2021 Luas serangan (Ha) Luas serangan (%)
1 Banten 322,00 314,50 -7,50 -2,33
2 Jawa Barat 51,58 51,58 0,00 0,00
3 Jawa Tengah 482,55 233,51 -249,04 -51,61
4 DIY 62,97 145,00 82,03 130,27
5 Jawa Timur 634,80 746,02 111,22 17,52
6 Bali 1.070,01 716,04 -353,97 -33,08
7 NTB 758,00 785,00 27,00 3,56
8 NTT 4.289,20 4.650,80 361,60 8,43
Total 7.671,11 7.642,45 -28,66 -0,37

Gambar 3 : Perbandingan Luas Serangan Helopeltis sp   pada Tanaman Kakao

                     Triwulan IV 2021 dan IV 2020

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Gambar 3 yang menunjukkan grafik Perbandingan Luas Serangan         Helopeltis sppada Triwulan IV tahun 2021 dan Triwulan IV tahun 2020 secara keseluruhan menunjukkan adanya penurunan luas serangan seluas 28,66 Ha atau 0,37%. Penurunan luas serangan salah satunya karena adanya tindakan pengendalian yang dilakukan petani secara swadaya maupun pengendalian yang dilakukan melalui program pemerintah berupa pengendalian mekanis, sanitasi serta biologis menggunakan musuh alami cukup maksimal sehingga  terjadi penurunan luas serangan hama.

                 Tabel  5. Perbandingan Luas serangan dan Luas pengendalian Helopeltis sp   

No. Provinsi LS (Ha) LP (Ha) Tingkat Pengendalian (%)
1 Banten 314,50 0,00 0,00
2 Jawa Barat 51,58 8,70 16,87
3 Jawa Tengah 233,51 103,89 44,49
4 DIY 145,00 55,00 37,93
5 Jawa Timur 746,02 272,51 36,53
6 Bali 716,04 716,05 100,00
7 NTB 785,00 0,00 0,00
8 NTT 4.650,80 716,73 15,41
Total 7.642,45 6.288,18 24,51

Gambar  4 : Perbandingan Luas Serangan dan Luas Pengendalian Helopeltis sp   

pada Tanaman Kakao periode Triwulan IV 2021

Sumber     : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya 2021

Data pada tabel  5 dan Gambar  4 menunjukkan Perbandingan Luas Serangan dan Luas Pengendalian Helopeltis sp periode Triwulan IV tahun 2021. Data pada tabel dan grafik tersebut menunjukkan bahwa secara global Luas pengendalian hama Helopeltis sp periode Triwulan IV tahun 2021 sekitar 24,51%

 Pengendalian yang direkomendasikan dan perlu dilakukan oleh petani antara lain (Direktorat Perlindungan perkebunan, 2013):

Rekomendasi Pengendalian Helopeltis sp.

A.    Mekanis

Pengendalian secara mekanis meliputi penangkapan hama dan penyelubungan buah dengan kantong plastik.

B.     Kultur teknis

1.      Pemberian pupuk secara teratur akan menjadikan tanaman tumbuh dengan baik serta memiliki daya tahan tubuh yang baik serta memiliki daya tahan tinggi terhadap gangguan hama.

2.      Pemangkasan pada tanaman kakao dilakukan dengan cara membuang tunas air yang tumbuh di sekitar prapatan dan cabang-cabang utama. Tunas air akan mengganggu pertumbuhan tanaman karena dapat menjadi pesaing tanaman dalam pengambilan zat hara dan air.

3.      Sanitasi tanaman inang.  H. antonii dapat hidup pada tanaman inang lain seperti kapok, rambutan, dadap, albasia, dan dari famili Leguminoceae.

C. Pengendalian secara hayati

Pengendalian H. antonii dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami khususnya B. bassiana telah dilaksanakan di Yogyakarta (DIY) tetapi belum memberi hasil yang memuaskan. Sedangkan pengendalian pada tanaman kakao dengan menggunakan semut hitam dan semut rang-rang cukup prospektif.

D.    Pengendalian secara kimiawi

Pengendalian secara kimiawi harus dilakukan secara hati-hati, karena pengendaliannya yang tidak tepat justru akan meningkatkan populasi H. antonii. Tanaman yang disemprot insektisida akan tumbuh lebih cepat dengan tunas-tunas baru yang lebih sukulen dan disukai hama tersebut. Selain itu, pengendalian kimiawi yang tidak tepat akan membunuh predator dan parasitoid hama tersebut (Saputra, 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2013. Teknik Pengendalian Helopeltis sp. Jakarta

Saputra, H. 2011. Identifikasi Helopeltis antonii pada tanaman Kakao dan Teh.https://agricultureandaquatic.blogspot.co.id/2011/06/identifikasi-helopeltis-antonii-pada.html. Diunduh tanggal 4 Januari 2016

Penulis ERNA ZAHRO’IN dan WAHYU IRIANTO


Bagikan Artikel Ini  
[Sassy_Social_Share style="display:inline-block; margin-left:140px;"]

AKSI MOBIL SIANI PENGENDALIAN OPT CENGKEH DI KABUPATEN KEDIRI

Diposting        Oleh    Admin Balai Surabaya



Salah satu sentra tanaman cengkeh di Kabupaten Kediri adalah Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar. Namun pada saat ini petani cengkeh di wilayah tersebut sedang berjibaku mengatasi serangan OPT. Berdasarkan hasil pengamatan gejala di lapangan, tanaman cengkeh tersebut mayoritas terserang bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC) dan penggerek batang cengkeh.

Sebagai upaya pengendalian BPKC dan penggerek batang cengkeh, SIANI bersama Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kediri serta Kelompok Tani Usaha Karya melaksanakan kegiatan Gerakan Pengendalian OPT Tanaman Cengkeh. Kegiatan diawali dengan diskusi tentang kondisi tanaman cengkeh, OPT utama dan OPT penting pada tanaman cengkeh, pengamatan, strategi pengendaliannya serta aksi pengendalian pada tanaman terserang OPT.

Gejala serangan BPKC ditunjukkan dengan adanya gugur daun yang diawali dari daun dibagian pucuk tanaman (daun muda). Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian, maka gejala tersebut akan menyebar keseluruh daun dibagian yang lainnya. Pada tingkat serangan yang berat maka akan menyebabkan tanaman cengkeh mati. Tanda serangan penggerek batang cengkeh ditunjukkan dengan adanya lubang bekas gerekan pada batang cengkeh. Lubang gerekan aktif ditunjukkan dengan adanya lendir atau cairan yang keluar dari lubang gerekan atau dapat juga ditunjukkan dengan adanya serbuk gerekan yang keluar dari lubang gerekan. Sedangkan gejala yang ditunjukkan adalah mengeringnya daun atau bagian tanaman yang terserang penggerek secara bersamaan atau dalam periode yang singkat dikarenakan matinya jaringan tanaman.

Pada saat pengamatan gejala dan tanda serangan OPT pada tanaman cengkeh, kelompok tani mendapatkan keberadaan imago dan nimfa Hindola sp. yang merupakan vektor dari BPKC. Semakin banyak populasi Hindola sp. maka semakin cepat penyebaran BPKC.   

Aksi pengendalian yang dilaksanakan SIANI bersama Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kediri serta Kelompok Tani Usaha Karya adalah dengan memanfaatkan musuh alami atau agens pengendali hayati yang merupakan salah satu prinsip dalam PHT. Untuk pengendalian BPKC digunakan suspensi bakteri Pseudomonas fluorescens (Pf) dengan metode aplikasi melalui injeksi batang menggunakan alat injektor khusus untuk tanaman.

Untuk mendukung ketahanan tanaman perlu dilakukan pemupukan organik pada tanaman cengkeh secara rutin dengan periode pemupukan setahun dua kali yaitu pada awal dan akhir musim penghujan. Untuk konsentrasi pemupukan organik pada tanaman cengkeh sebenarnya tidak ada batasan maksimal, hanya berdasarkan kemampuan yang dimiliki petani. Semakin banyak bahan organik yang diamasukkan kedalam lingkungan kebun akan semakin baik bagi pertumbuhan tanaman dengan catatan pupuk organik yang diaplikasikan telah dilakukan fermentasi atau pupuk organik yang siap untuk diserap tanaman dengan aman.

Keberhasilan dalam upaya pengendalian OPT pada tanaman cengkeh tergantung komitmen petani untuk menerapkan strategi pengelolaan OPT secara komprehensif dan terus menerus.    

Dengan adanya kegiatan ini diharapkan serangan BPKC dapat terkendali sehingga produksi tanaman cengkeh sesuai dengan harapan petani dan petani peserta kegiatan dapat menyampaikan informasi teknologi dan pengetahuan tentang pengendalian OPT tanaman cengkeh kepada petani disekitar wilayah tersebut.           


Bagikan Artikel Ini  
[Sassy_Social_Share style="display:inline-block; margin-left:140px;"]